Selasa, 18 Februari 2014



Hikayat Seribu Satu Malam

Prolog: {Kisah Raja Syahrayar dan Syahrazad, Puteri Wazirnya}

Diceritakan - tetapi Tuhanlah yang paling mengetahui dan melihat apa yang tersembunyi dalam sejarah masyarakat dan masa yang telah lewat - bahwa dahulu kala, pada masa pemerintahan dinasti Sasaniah, di jazirah India dan Indocina,
hiduplah dua orang raja bersaudara. Yang lebih tua bernama Syahrayar, dan yang lebih muda bernama Syahzaman. Syahrayar adalah seorang kesatria bermartabat tinggi dan seorang pahlawan yang berani, tak terkalahkan, penuh semangat, dan keras kepala. Kekuasaannya mencapai seluruh negeri itu dan penduduknya, sehingga negeri itu setia kepadanya, dan rakyat mematuhinya. Syahrayar sendiri hidup dan memerintah India dan Indocina, sementara adiknya diberinya tanah Samarkand untuk dikuasainya.

Sepuluh tahun berlalu, ketika suatu hari Syahrayar yang merasa rindu pada adiknya, memanggil wazirnya (yang memiliki dua orang puteri, yang satu bernama Syahrazad, dan satunya lagi Dinazard) dan menyuruhnya pergi menemui adiknya. Setelah mengadakan persiapan-persiapan, wazir itu melakukan perjalanan siang dan malam sampai dia tiba di Samarkand. Ketika Syahzaman mendengar kedatangan sang wazir, dia keluar bersama para pelayan untuk menemuinya. Dia turun dari kuda, memeluknya, dan menanyakan kabar dari kakaknya, Syahrayar. Wazir itu menjawab bahwa Syaharayar baik-baik saja, dan bahwa dia mengirimnya untuk meminta Syahzaman mengunjunginya. Syahzaman memenuhi permintaan kakaknya, lalu mulai mengadakan persiapan-persiapan bagi perjalanan untuk mengunjungi kakaknya itu. Sementara itu, dia menyediakan kemah bagi wazir itu di pinggir kota, dan memenuhi semua keperluannya. Dia memberikan kepadanya makanan yang diinginkannya, menyembelih banyak kambing untuk menghormatinya, dan menyediakan banyak uang serta barang-barang keperluan lainnya, juga banyak kuda dan unta.

Selama sepuluh hari penuh dia mempersiapkan dirinya untuk perjalanan itu; kemudian dia menunjuk seorang pejabat tinggi istananya untuk menduduki tempatnya selama kepergiannya, lalu meninggalkan kota untuk melewatkan malam di kemahnya, dekat sang wazir. Pada tengah malam dia kembali ke kota, untuk mengucapkan selamat tinggal kepada isterinya. Tetapi ketika memasuki istana, dia menemukan isterinya tengah berbaring dalam pelukan salah seorang pemuda juru masak. Ketika dia melihat mereka, dunia berubah menjadi gelap di matanya dan, dengan menggelengkan kepalanya, dia berkata kepada dirinya sendiri, "Aku masih di sini, dan inilah yang dilakukannya ketika aku baru berada di luar kota. Apa jadinya dan apa yang akan terjadi di belakang punggungku jika aku pergi mengunjungi kakakku di India? Tidak. Wanita ini tidak bisa dipercaya." Dia menjadi sangat marah, lalu katanya, "Demi Tuhan, aku adalah raja yang berkuasa di Samarkand, namun isteriku mengkhianatiku dan menimpakan penderitaan ini atas diriku." Ketika kemarahannya semakin memuncak, dia menyambar pedangnya dan memancung isteri serta juru masak itu. Lalu dia menyeret mereka dan melemparkan mereka dari puncak istana ke parit di bawahnya. Selanjutnya dia meninggalkan kota dan pergi menemui sang wazir, memerintahkan agar berangkat saat itu juga. Genderang ditabuh, dan mereka memulai perjalanan, sementara hati Syahzaman masih panas karena apa yang telah dilakukan isterinya terhadapnya dan bagaimana dia telah mengkhianatinya bermain serong dengan si juru masak. Mereka melakukan perjalanan dengan tergesa-gesa, siang dan malam, melalui gurun dan hutan belantara. Ketika tiba di negeri Raja Syahrayar, Raja Syahrayar beranjak keluar untuk menerima mereka.

Ketika Syahrayar bertemu mereka, dia memeluk adiknya, menunjukkan kesenangannya, dan memperlakukan dengan penuh kedermawanan. Dia menawarkan kepadanya tempat tinggal di dalam istana yang berdampingan dengan tempat tinggalnya sendiri, sebab Raja Syahrayar telah membangun dua istana yang tinggi dan indah di dalam tamannya, yang satu untuk para tamu, yang lain untuk para wanita dan para anggota rumah tangga istana. Dia memberikan rumah tamu itu kepada adiknya, setelah para pelayan menggosok lantainya, mengeringkannya, melengkapinya dengan perkakas, dan membuka jendela-jendelanya, yang menghadap ke taman di bawahnya. Sesudah itu Syahzaman menghabiskan waktunya sepanjang hari di tempat tinggal kakaknya, kembali pada malam hari untuk tidur di istananya, lalu kembali lagi ke tempat kakaknya keesokan harinya. Tetapi setiap kali dia mendapati dirinya sendirian dan memikirkan tentang siksaan yang diakibatkan isterinya, dia mengeluh dalam-dalam, lalu menahan kesedihannya, dan berkata, "Sungguh sayang, kenapa kesialan ini menimpa orang seperti aku ini!" Dia resah karena kecemasannya, jiwanya melemah, dan dia berkata, "Tak seorang pun pernah melihat apa yang telah kulihat." Dalam kesedihannya, dia kehilangan selera makan, bertambah pucat, dan kesehatannya memburuk. Dia mengabaikan segalanya, merana, dan tampak sakit.

Ketika Raja Syahrayar memandang adiknya dan melihat betapa dari hari ke hari dia kehilangan berat badan, bertambah kurus, pucat, kelabu, dan muram, dia mengira bahwa ini dikarenakan kepergian adiknya dari negerinya dan kerinduannya kepada negeri serta keluarganya, dan dia berkata kepada dirinya sendiri, "Adikku tidak bahagia di sini. Aku harus mempersiapkan hadiah yang mendatangkan kebaikan baginya, dan menyuruhnya pulang." Selama sebulan dia mengumpulkan berbagai hadiah untuk adiknya; lalu mengundangnya untuk mengunjunginya dan berkata, "Dik, aku ingin engkau mengetahui bahwa aku bermaksud pergi berburu dan mencari kijang selama sepuluh hari. Lalu aku akan kembali untuk mempersiapkan perjalanan pulangmu. Maukah engkau pergi berburu bersamaku?" Syahzaman menjawab, "Kak, aku merasa kacau dan sedih. Tinggalkanlah aku di sini, dan pergilah dengan rahmat dan pertolongan Tuhan." Ketika Syahrayar mendengar kata-kata adiknya, dia mengira bahwa penolakannya dikarenakan kerinduannya kepada negerinya. Tetapi karena tidak ingin memaksanya, dia meninggalkannya, dan berangkat bersama para pelayan dan pengawalnya. Ketika mereka memasuki hutan belantara, dia menyuruh orang-orangnya untuk melakukan pengepungan, penjebakan dan perburuan.

Setelah kepergian kakaknya, Syahzaman tinggal di istananya, dan dari jendela yang menghadap ke taman di bawahnya, dia memandangi burung-burung dan pepohonan sembari memikirkan tentang isterinya dan apa yang telah dilakukan wanita itu terhadapnya, lalu mengeluh sedih. Ketika sedang merenungi kemalangannya, menatap ke langit dan mengalihkan pandangannya yang sayu ke taman, pintu pribadi istana kakaknya terbuka, dan muncullah dari sana, berjalan dengan angkuhnya bagaikan seekor kijang bermata hitam, seorang wanita, isteri kakaknya, diikuti dua puluh gadis budak, sepuluh berkulit putih dan sepuluh lainnya berkulit hitam. Sementara Syahzaman melihat mereka dengan sembunyi-sembunyi, mereka terus berjalan sampai akhirnya mereka berhenti di bawah jendelanya, tanpa memandang ke arahnya, karena mengira bahwa dia telah pergi berburu bersama kakaknya. Lalu mereka duduk, melepaskan pakaian mereka, dan tiba-tiba tampak sepuluh gadis budak dan sepuluh budak berkulit hitam yang sama-sama mengenakan pakaian perempuan. Lalu kesepuluh budak hitam itu berzina dengan kesepuluh gadis itu, sementara isteri kakaknya memangil-manggil, "Mas`ud, Mas`ud!" dan seorang budak berkulit hitam melompat dari pohon ke tanah, bergegas ke arahnya, dan kemudian budak hitam itu bermain cinta dengannya. Mereka meneruskan perbuatan itu sampai tengah hari. Setelah selesai, mereka bangkit dan membasuh diri. Lalu kesepuluh budak itu mengenakan pakaian yang sama kembali, berbaur dengan para gadis, dan sekali lagi tampaklah dua puluh orang gadis budak. Mas`ud sendiri melompati tembok taman dan menghilang, sementara gadis-gadis budak dan wanita itu berjalan menuju pintu pribadi istana, masuk dan setelah mengunci pintu, meneruskan langkah mereka. Semua ini terjadi di depan mata Raja Syahzaman. Ketika dia melihat pemandangan di mana isteri dan para wanita milik kakaknya sang raja yang agung - bagaimana kesepuluh budak itu mengenakan pakaian wanita dan tidur dengan para kekasih dan selir kakaknya dan apa yang dilakukan Mas`ud dengan isteri kakaknya, di dalam istananya sendiri - dan memikirkan tentang bencana serta kemalangan yang luar biasa ini, keprihatinan dan kesedihan meninggalkannya dan dia berkata kepada dirinya sendiri, "Inilah nasib kami semua. Meskipun kakakku adalah raja dan penguasa seluruh dunia, dia tidak dapat melindungi miliknya sendiri, isteri dan selir-selirnya, dan mendapatkan kesialan di dalam rumahnya sendiri. Apa yang terjadi padaku sungguh kecil dibandingkan dengan itu. Aku selama ini mengira bahwa akulah satu-satunya orang yang menderita, tetapi dari apa yang telah aku lihat, ternyata semua orang menderita. Demi Tuhan, kemalanganku ini lebih ringan dibanding kemalangan kakakku." Dia masih terheran-heran dan menyalahkan kehidupan yang cobaan-cobaanya tidak dapat dihindari seorang pun, dan dia mulai menemukan penghiburan bagi penderitaannya sendiri dan melupakan kesedihannya. Ketika makan malam tiba, dia makan dan minum penuh semangat dan karena merasa lebih baik, terus makan dan minum, menyenangkan dirinya sendiri dan merasa bahagia. Dia berkata kepada dirinya sendiri, "Aku tidak lagi sendirian dalam kesedihanku; aku baik-baik saja" Selama sepuluh hari, dia terus menikmati makanan dan minuman. Ketika kakaknya, Raja Syahrayar, kembali dari berburu, dia menyambutnya dengan gembira, memperlakukannya dengan penuh perhatian, dan menyalaminya dengan ceria. Kakaknya, Raja Syahrayar, yang telah merindukannya, berkata, "Demi Tuhan, Adikku, dalam perjalanan aku merindukanmu dan berharap engkau bersamaku." Syahzaman berterima kasih padanya, dan duduk bercengkerama dengannya. Ketika malam tiba, dan makanan sudah disajikan di hadapan mereka, keduanya makan dan minum. Syahzaman makan dan minum dengan penuh semangat. Dia terus makan dan minum dengan penuh selera dan menjadi riang gembira. Wajahnya tidak lagi pucat, dan menjadi kemerah-merahan. Berat badannya bertambah, dan dia mendapatkan kembali kekuatannya; dia kembali menjadi dirinya sendiri, atau malah lebih dari itu. Raja Syahrayar menyadari keadaan adiknya, bagaimana dia sebelumnya dan bagaimana dia menjadi semakin sehat. Tetapi hal itu dipendamnya saja sampai suatu hari dia berada di sampingnya dan berkata, "Adikku Syahzaman, aku ingin engkau melakukan sesuatu untukku, memenuhi permintaanku, menjawab sebuah pertanyaan dengan jujur." Syahzaman bertanya, "Apakah itu, Kak?" Dia menjawab, "Ketika engkau datang untuk tinggal bersamaku, aku memperhatikanmu semakin kurus, dari hari ke hari, sampai penampilanmu berubah, kesehatanmu memburuk, dan kekuatanmu hilang. Karena engkau terus-terusan dalam keadaan begitu, aku mengira bahwa yang membuatmu menderita adalah kerinduanmu pada keluargamu dan pada negerimu. Tetapi meskipun demikian aku menyadari bahwa engkau merana dan tampak sakit, aku menahan diri untuk menanyaimu dan menyembunyikan perasaanku darimu. Lalu aku pergi berburu. Ketika aku kembali, aku mendapati engkau telah sembuh dan kembali sehat. Nah, aku ingin engkau menceritakan kepadaku segala sesuatunya, dan menjelaskan penyebab memburuknya keadaanmu dan juga penyebab kesembuhanmu tanpa menyembunyikan apapun dariku." Ketika Syahzaman mendengar apa yang dikatakan oleh Raja Syahrayar, dia menundukkan kepalanya, lalu berkata, "Mengenai penyebab kesembuhanku, aku tidak dapat mengatakannya kepadamu. Aku harap engkau mengizinkan aku untuk tidak menceritakannya." Sang Raja sangat heran akan jawaban adiknya. Dan terbakar oleh rasa ingin tahu, sang raja berkata, "Engkau harus mengatakannya padaku. Untuk sekarang, paling tidak, ceritakan penyebab yang pertama."

Lalu Syahzaman menceritakan apa yang terjadi padanya dan pada isterinya, pada malam keberangkatannya, dari awal hingga akhir, dan menyimpulkan, "Jadi selama aku bersamamu, Raja yang agung, setiap aku memikirkan tentang kejadian itu dan kemalangan yang menimpaku, aku merasa terganggu, risau, dan tidak bahagia, dan kesehatanku memburuk. Inilah penyebabnya." Lalu dia terdiam. Ketika Raja Syahrayar mendengar penjelasan adiknya, dia menggelengkan kepalanya, sangat heran akan penipuan yang dilakukan oleh para wanita, dan memohon kepada Tuhan agar melindunginya dari kejahatan mereka dan berkata, "Dik, engkau beruntung karena membunuh isterimu dan kekasihnya, yang telah menyebabkanmu merasa terganggu, risau dan sakit. Demi Tuhan, seandainya aku mengalami sepertimu, aku pasti telah membunuh sekurang-kurangnya seratus atau bahkan seribu wanita. Aku psti akan marah besar; aku menjadi gila. Kini bersyukurlah kepada Tuhan yang telah menjauhkanmu dari kesedihan dan penderitaan. Tetapi ceritakanlah padaku apa yang menyebabkanmu melupakan kesedihanmu dan pulihnya kesehatanmu?" Syahzaman menjawab, "Sang Raja, aku harapkan, demi Tuhan, engkau mengizinkanku tidak menceritakannya padamu." Syahrayar berkata, "Engkau harus." Syahzaman berkata, "Aku khawatir engaku akan merasa lebih terganggu dan risau dibanding aku." Syahrayar bertanya, "Bagaimana bisa, Dik?" Aku berkeras ingin mendengar penjelasanmu."

Syahzaman lalu menceritakan apa yang telah dilihatnya dari jendela istana dan bencana yang terjadi di rumah raja sendiri - bagaimana sepuluh budak hitam, yang menyamar sebagai perempuan, tidur bersama para wanita dan selirnya, siang dan malam. Dia menceritakan segalanya dari awal hingga akhir. Kemudian dia menyudahi kisahnya, "Ketika aku menyadari kemalanganmu, aku merasa lebih baik - dan berkata kepada diriku sendiri, 'Kakakku adalah raja yang berkuasa di dunia, namun kemalangan seperti itu telah menimpanya, dan terjadi di rumahnya sendiri.' Akibatnya aku melupakan keprihatinan dan kesedihanku, merasa santai, dan mulai makan dan minum. Inilah penyebab kegembiraan dan semangatku yang tinggi."

Ketika Raja Syahrayar mendengar apa yang diceritakan adiknya, dan menyadari apa yang telah terjadi padanya, dia menjadi marah, dan darahnya mendidih. Dia berkata, "Dik, aku tidak dapat mempercayai apa yang engkau katakan, kecuali jika aku melihatnya dengan mataku sendiri." Ketika Syahzaman melihat betapa kakaknya marah, dia berkata, "Jika engkau tidak mempercayaiku, kecuali kalau engkau menyaksikan kemalanganmu dengan matamu sendiri, umumkan bahwa engkau merencanakan untuk pergi berburu. Lalu engkau dan aku berangkat dengan pasukanmu, dan jika kita telah sampai di luar kota, kita tinggalkan kemah beserta orang-orangnya, memasuki kota secara diam-diam, dan pergi ke istanamu. Maka keesokan harinya engkau dapat melihat dengan matamu sendiri."

Raja Syahrayar menyadari bahwa adiknya mempunyai rencana yang bagus, lalu memerintahkan tentaranya untuk mempersiapkan perjalanan itu. Dia melewatkan waktu malam bersama adiknya. Ketika fajar menyingsing, keduanya pergi ke luar kota bersama tentara, didahului para penjaga kemah, yang telah pergi lebih dulu untuk mendirikan kemah di tempat sang raja dan tentaranya akan berkemah. Ketika malam tiba, Raja Syahrayar memanggil kepala istana dan memerintahkannya untuk menggantikannya. Dia mempercayakan tentara kepadanya, dan memerintahkan bahwa selama tiga hari tak seorang pun boleh memasuki kota. Lalu dia dan adiknya menyamar dan memasuki kota di malam gelap. Mereka langsung menuju istana tempat tinggal Syahzaman dan tidur di sana sampai pagi. Ketika mereka bangun, mereka duduk di jendela istana, memandang ke taman dan bercakap-cakap, sampai fajar menyingsing, dan pagi pun tiba. Ketika mereka berjaga, pintu pribadi istana raja Syahrayar terbuka, dan muncullah seperti biasanya isteri Raja Syahrayar, berjalan di antara dua puluh gadis budak. Mereka berjalan di bawah pepohonan sampai mereka tiba di bawah jendela istana di mana kedua raja itu duduk. Lalu mereka membuka gaun mereka, dan tiba-tiba tampaklah sepuluh budak hitam yang kemudian bermain cinta dengan sepuluh gadis itu. Sedangkan wanita itu, isteri Raja Syahrayar, memanggil-manggil, "Mas`ud..Mas`ud," dan seorang budak hitam melompat dari pohon ke tanah, mendekatinya dan berkata, "Apa yang engkau inginkan, hai pelacur? Inilah Sa`aduddin Mas`ud." Wanita itu tertawa dan seperti yang lainnya, bermain cinta dengannya. Lalu kesepuluh budak hitam itu bangun, membersihkan diri mereka, dan dengan mengenakan gaun yang sama, berbaur dengan gadis-gadis itu. Lalu mereka melangkah pergi, memasuki istana, dan mengunci pintu. Sedang Mas`ud, dia melompati pagar ke arah jalanan dan pergi pula.

Ketika Raja Syahrayar melihat pemandangan isterinya bersama gadis-gadis budak itu, dia kehilangan akalnya, dan ketika dia dan adiknya turun dari lantai atas, dia berkata, "Tak seorang pun akan selamat di dunia ini. Perbuatan-perbuatan semacam itu terjadi di kerajaanku sendiri, dan di istanaku sendiri. Musnahlah dunia dan musnahlah kehidupan! Sungguh ini adalah bencana besar." Lalu mereka pergi melalui pintu pribadi, mengambil jalan samping, dan berangkat menuju tempat perkemahan mereka, dan menemui orang-orang mereka, memasuki kemah dan duduk di singasana mereka. Para pejabat istana, utusan, pangeran, dan wazir datang menghadap Raja Syahrayar. Raja Syahrayar memberi perintah-perintah dan menyerahkan jubah-jubah kehormatan, dan juga hadiah-hadiah lain. Lalu atas perintahnya, semua orang kembali ke kota. Dia pergi ke istananya sendiri, dan memerintahkan wazir kepalanya, ayah dari dua gadis Syahrazad dan Dinazard, dan berkata kepadanya, "Panggil isteriku, dan bunuhlah dia." Lalu Syahrayar mendatanginya sendiri, mengikatnya, dan menyerahkannya pada wazir. Sang wazir membawanya keluar, lalu membunuhnya. Lalu Raja Syahrayar mengambil pedangnya, mengacungkannya. Dan ketika memasuki kamar-kamar istana dia membunuh setiap gadis budaknya dan menggantikan mereka dengan yang lain. Lalu dia bersumpah akan menikah hanya untuk semalam dan membunuh wanita itu keesokan harinya, untuk menyelamatkannya dari kejahatan dan kelicikan wanita, katanya, "Tidak ada seorang wanita pun yang suci di mana saja di seluruh muka bumi ini." Tak lama kemudian, dia memberikan pada adiknya, Syahzaman, perbekalan untuk perjalanannya, dan mengirimnya kembali ke negerinya dengan berbagai hadiah, barang-barang langka, dan uang. Sang adik mengucapkan selamat tinggal, lalu berangkat pulang.

Syahrayar duduk di atas singgasananya, dan memerintahkan wazirnya, ayah dari kedua gadis itu, untuk mencarikan seorang isteri dari kalangan puteri-puteri para pangeran. Sang wazir mendapatkannya untuknya. Raja tidur dengannya, dan keesokan harinya dia memerintahkan sang wazir agar membunuh wanita itu. Malam hari itu juga dia mengambil salah seorang puteri perwira tentaranya, tidur dengannya, dan keesokan harinya memerintahkan wazirnya untuk membunuhnya. Sang wazir, yang tidak berani menolak perintahnya, membunuh wanita itu. Malam ketiga dia mengambil salah seorang puteri pedagang kerajaan, tidur dengannya hingga pagi, lalu memerintahkan wazirnya untuk membunuhnya, dan sang wazir menjalankan perintah itu. Selanjutnya menjadi kebiasaan Raja Syahrayar, setiap malam mengambil puteri pedagang atau orang jelata, melewatkan malam bersamanya, dan memerintahkan untuk membunuhnya keesokan harinya. Dia terus melakukan hal ini sampai semua gadis mati, ibu-ibu mereka berkabung, dan timbul tuntutan di kalangan para ayah dan ibu, yang karena adanya kejadian mengerikan ini, mengadu kepada Pencipta langit, dan memohon pertolongan-Nya yang mau mendengar dan mengabulkan doa-doa.

Nah, sebagaimana disebutkan sebelumnya, sang wazir, yang membunuh gadis-gadis itu, mempunyai dua orang puteri, yang lebih tua bernama Syahrazad, dan yang lebih muda bernama Dinazard. Yang lebih tua, Syahrazad, membaca buku-buku kesusastraan, filsafat, dan ilmu pengobatan. Dia hafal puisi-puisi, mempelajari catatan-catatan sejarah, dan mengenal perkataan-perkataan dari banyak orang dan peribahasa dari para raja dan orang-orang suci. Dia pandai, berpengetahuan luas, bijaksana, dan halus budi pekertinya. Dia membaca dan belajar.

Syahrayar duduk di atas singgasananya, dan memerintahkan wazirnya, ayah dari kedua gadis itu, untuk mencarikan seorang isteri dari kalangan puteri-puteri para pangeran. Sang wazir mendapatkannya untuknya. Raja tidur dengannya, dan keesokan harinya dia memerintahkan sang wazir agar membunuh wanita itu. Malam hari itu juga dia mengambil salah seorang puteri perwira tentaranya, tidur dengannya, dan keesokan harinya memerintahkan wazirnya untuk membunuhnya. Sang wazir, yang tidak berani menolak perintahnya, membunuh wanita itu. Malam ketiga dia mengambil salah seorang puteri pedagang kerajaan, tidur dengannya hingga pagi, lalu memerintahkan wazirnya untuk membunuhnya, dan sang wazir menjalankan perintah itu. Selanjutnya menjadi kebiasaan Raja Syahrayar, setiap malam mengambil puteri pedagang atau orang jelata, melewatkan malam bersamanya, dan memerintahkan untuk membunuhnya keesokan harinya. Dia terus melakukan hal ini sampai semua gadis mati, ibu-ibu mereka berkabung, dan timbul tuntutan di kalangan para ayah dan ibu, yang karena adanya kejadian mengerikan ini, mengadu kepada Pencipta langit, dan memohon pertolongan-Nya yang mau mendengar dan mengabulkan doa-doa.

Nah, sebagaimana disebutkan sebelumnya, sang wazir, yang membunuh gadis-gadis itu, mempunyai dua orang puteri, yang lebih tua bernama Syahrazad, dan yang lebih muda bernama Dinazard. Yang lebih tua, Syahrazad, membaca buku-buku kesusastraan, filsafat, dan ilmu pengobatan. Dia hafal puisi-puisi, mempelajari catatan-catatan sejarah, dan mengenal perkataan-perkataan dari banyak orang dan peribahasa dari para raja dan orang-orang suci. Dia pandai, berpengetahuan luas, bijaksana, dan halus budi pekertinya. Dia membaca dan belajar.

Suatu hari dia berkata kepada bapaknya, "Ayah, aku ingin mengatakan apa yang kupikirkan." Sang ayah bertanya, "Apakah itu?" Dia menjawab, "Aku ingin engkau menikahkan aku dengan Raja Syahrayar, sehingga aku akan berhasil menyelamatkan banyak orang, atau lenyap dan mati seperti yang lain." Ketika sang wazir mendengar apa yang dikatakan oleh puterinya, Syahrazad, dia menjadi marah dan berkata, "Anak bodoh, tidakkah engkau tahu bahwa Raja Syahrayar telah bersumpah akan melewatkan hanya satu malam dengan seorang gadis dan memerintahkannya untuk dibunuh keesokan harinya? Jika aku berikan engkau kepadanya, dia akan tidur denganmu satu malam saja dan akan menyuruhku membunuhmu keesokan harinya, dan aku harus melakukannya, sebab aku tidak dapat menolak perintahnya." Dia berkata, "Ayah, engkau harus menyerahkan aku kepadanya, walaupun dia akan membunuhku." Sang ayah bertanya, "Apa yang telah merasukimu sehingga engkau ingin membinasakan dirimu sendiri?" Dia menjawab, "Ayah, engkau harus menyerahkan aku kepadanya. Ini tidak bisa ditawar-tawar lagi." Ayahnya, sang wazir, menjadi marah, dan berkata, "Nak, 'Orang yang berbuat jahat, akhirnya akan menemui kesulitan dan orang yang tidak memikirkan akibat, dunia ini akan memusuhinya. Sebagaimana dinyatakan dalam peribahasa terkenal, 'Aku akan duduk manis, demi memenuhi keinginan-tahuku.' Aku khawatir bahwa apa yang terjadi pada keledai dan sapi dengan si pedagang, akan terjadi juga padamu." Dia bertanya, "Ayah, apa yang terjadi pada keledai, sapi, dan si pedagang." Dia berkata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar