Selasa, 18 Februari 2014

hikayat



Hikayat Seribu Satu Malam

Malam Pertama - Kisah Pedagang Dan Jin

Dikisahkan, wahai Raja yang bijaksana dan bahagia, bahwa dahulu kala hiduplah seorang pedagang yang makmur dan memiliki kekayaan berlimpah-ruah serta uang dan kawan di setiap negeri. Dia mempunyai banyak isteri dan anak-anak serta
memelihara banyak budak dan pelayan. Suatu hari, setelah memutuskan akan berkunjung ke luar negeri, dia mengambil perbekalan, mengisi kantung pelananya dengan berlapis-lapis roti dan kurma, menaiki kudanya, dan berangkat pergi. Selama berhari-hari dan bermalam-malam, dia berada dalam perjalanan di bawah lindungan Tuhan sampai dia tiba di tempat tujuannya. Setelah menyelesaikan urusannya, dia kembali ke rumah dan keluarganya. Dia bepergian selama tiga hari, dan pada hari keempat, ketika kebetulan melihat sebuah kebun buah-buahan, dia memasukinya untuk menghindari panas dan meneduhkan dirinya dari sinar matahari di tengah padang terbuka. Dia mendatangi sebuah mata air di bawah sebatang pohon kenari dan, setelah mengikat kudanya, duduk di dekat mata air, mengeluarkan dari kantung pelananya beberapa lapis roti dan segenggam kurma, dan mulai makan, dengan melemparkan biji-biji kurmanya ke kanan dan ke kiri sampai merasa cukup kenyang. Lalu dia bangkit, berwudu`, dan melaksanakan shalat.

Tetapi baru saja dia shalat, dilihatnya sesosok jin tua, dengan pedang di tangan, berdiri dengan kedua kakinya di atas tanah dan kepalanya di tengah awan. Jin itu mendekatinya sampai ia berdiri di depannya dan berteriak, "Bangunlah, agar aku bisa membunuhmu dengan pedang ini, sebagaimana engkau telah membunuh puteraku." Ketika pedagang melihat dan mendengar jin itu, dia merasa takut dan terhenyak. Dia bertanya, "Tuan, karena kejahatan apa sehingga engkau ingin membunuhku?" Jin itu menjawab, "Aku ingin membunuhmu sebab engkau telah membunuh puteraku." Si pedagang bertanya, "Siapa yang telah membunuh puteramu?" Jin itu menjawab, "Engkau telah membunuh puteraku." Si pedagang berkata, "Demi Tuhan, aku tidak membunuh puteramu. Kapan dan dengan cara bagaimana hal itu terjadi?" Jin itu menjawab, "Tidakkah engkau duduk, mengeluarkan beberapa kurma dari kantong pelanamu, dan makan dengan melemparkan biji-biji itu ke kanan dan ke kiri?" Si pedagang menjawab, "Ya, memang." Jin itu berkata, "Engkau telah membunuh puteraku, sebab ketika engkau melemparkan biji itu ke kanan dan ke kiri, kebetulan puteraku sedang lewat dan terlempari salah satu biji itu dan mati karenanya, dan kini aku harus membunuhmu." Si pedagang berkata, "Wahai Tuanku, tolong jangan membunuhku." Jin itu berkata, "Aku harus membunuhmu sebagaimana engkau telah membunuhnya - utang nyawa bayar nyawa." Si pedagang berkata, "Sesungguhnya kami adalah milik Tuhan dan kepada Nya lah kami akan kembali. Tidak ada kekuasaan dan kekuatanku, selamatkanlah aku Tuhan Yang Maha Besar, Yang Maha Agung. Jika aku membunuhnya, hal itu terjadi tanpa kusengaja. Maafkanlah aku." Jin itu menyahut, "Demi Tuhan, aku harus membunuhmu sebagaimana engkau membunuh puteraku." Lalu dia merenggutnya dan, setelah melemparkannya ke tanah, mengangkat pedangnya untuk ditebaskan padanya. Si pedagang mulai meratap dan menangisi keluarganya dan isteri serta anak-anaknya. Sekali lagi, jin itu mengangkat pedangnya untuk diayunkan sementara si pedagang menangis terus sampai air matanya kering, dan berkata, "Tidak ada kekuasaan dan kekuatanku, selamatkanlah aku Tuhan Yang Maha Besar, Yang Maha Agung." Lalu dia mulai bersyair:

Hidup punya dua hari; yang satu kedamaian, yang satu kelesuan,
Dan punya dua sisi; kekhawatiran dan kebahagian,
Tanyalah dia yang mengejek kita dengan kemalangan,
"Apakah takdir, kecuali yang patut dicatat, menindas?
Tidakkah engkau lihat bahwa badai yang mengamuk, menghembus
Hanya menyerang pohon-pohon yang paling tinggi,
Dan di antara banyak ladang yang hijau dan tandus,
Hanya yang berbuah lebat yang tertimpuk bebatuan,
Dan dari bintang-bintang yang tak terhitung di kolong langit,
Tiada yang gerhana kecuali bulan dan matahari?
Pikirkanlah baik-baik tentang hari-hari itu, ketika sedang indah,
Lupa akan keburukan-keburukan yang ditakdirkan untuknya.
Engkau teperdaya oleh malam-malam yang tenang,
Namun di tengah ketenangan malam kesedihan mencekam."


Ketika si pedagang telah selesai dan berhenti menangis, jin itu berkata, "Demi Tuhan, aku harus membunuhmu, sebagaimana engkau membunuh puteraku, walaupun engkau mencucurkan air mata darah." Si pedagang bertanya, "Haruskah engkau melakukannya?" Jin itu menjawab, "Aku harus," dan mulai mengayunkan pedangnya.

Tetapi pagi hari menjelang Syahrazad, dan dia menjadi terdiam, membiarkan Raja Syahrayar terbakar oleh rasa ingin tahu untuk mendengar kelanjutan kisah tersebut. Lalu Dinazard berkata kepada kakaknya, Syahrazad, "Sungguh sebuah kisah yang aneh dan indah!" Syahrazad menyahut, "Ini belum apa-apa dibandingkan dengan apa yang akan kuceritakan kepadamu esok malam, jika sang raja berkenan mengampuni diriku dan membiarkan aku hidup. Kisahnya akan jauh lebih baik dan menyenangkan." Sang Raja merenung sendiri, "Aku akan mengecualikannya sampai aku mendengar kelanjutan kisah itu; lalu aku akan memerintahkan untuk membunuhmu keesokan harinya." Ketika fajar menyingsing, pagi pun tiba, dan matahari terbit; sang raja meninggalkan ruangan untuk mengurusi masalah-masalah kerajaan, dan sang wazir, ayah Syahrazad, merasa heran dan senang. Raja Syahrayar bekerja sepanjang hari dan kembali pulang pada malam harinya ke tempat tinggalnya dan naik ke tempat tidur bersama Syahrazad. Lalu Dinazard berkata kepada kakaknya, Syahrazad, "Ayo, Kak, jika engkau belum mengantuk, ceritakan kepada kami salah satu dongengmu yang indah untuk mengisi malam." Sang Raja berkata, "Hendaklah itu kelanjutan kisah tentang jin dan si pedagang, sebab aku ingin mendengarnya." Syahrazad menjawab, "Dengan senang hati, Raja yang baik dan bahagia."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar